Gunung Inerie Ibu Agung di Atas Awan

Gunung Inerie Ibu Agung di Atas Awan

Di selatan Flores, di mana laut berciuman dengan langit dan awan menggantung rendah di atas lembah-lembah hijau, berdirilah sebuah gunung yang tubuhnya menjulang bagai kerucut raksasa yang dipahat dengan tangan para dewa. Namanya Gunung Inerie, yang dalam bahasa setempat berarti IneRie “Ibu Agung”. Dari segala penjuru Bajawa, puncaknya yang sempurna seakan menatap lembut setiap rumah, setiap ladang, dan setiap jiwa yang hidup di bawah naungannya.

Gunung Inerie: Eksotisme Alam dari Puncak Tertinggi Nusa Tenggara Timur -  Lifestyle Liputan6.com

Baca juga : RIVALITAS EVERTON API ABADI KOTA LIVERPOOL
Baca juga : Five Minutes Pop Rock Legendaris asal Bandung
Baca juga : Liverpool FC Api Rivalitas Tak Pernah Padam
Baca juga : Hj. Lilis Nuryani Fuad Bupati Kebumen
Baca juga : Misteri kebumen history budaya mistis
Baca juga : Jejak Peradaban SEJARAH kebumen

Gunung ini bukan sekadar bentang alam. Ia adalah jiwa dari Ngada, napas bagi orang-orang yang menanam, berdoa, dan menatap matahari dengan harapan. Di bawah bayangannya yang megah, waktu berjalan perlahan; suara ayam pagi bersahutan dengan dengung doa di rumah adat, sementara kabut turun seperti kain putih yang menutup bahu bumi.

Wajah yang Terlihat dari Segala Arah

Gunung Inerie adalah mahakarya geologi yang lahir dari letusan purba. Ketinggiannya mencapai sekitar 2.245 meter di atas permukaan laut, menjadikannya salah satu puncak tertinggi di Flores bagian tengah. Dari jauh, siluetnya tampak nyaris sempurna kerucut simetris, runcing di puncak, dan menurun teratur ke arah lembah. Banyak orang menyebutnya “Fuji-nya Flores”, namun bagi warga Ngada, Inerie bukan tiruan dari apa pun: ia adalah sosok asli, suci, dan abadi.

Setiap pagi, ketika matahari baru menembus tirai kabut, cahaya oranye memantul di lereng batu vulkanik, menyalakan warna keemasan di punggung gunung. Sementara itu, di bawahnya, kampung-kampung adat seperti Bena, Gurusina, dan Tololela terbangun perlahan rumah-rumah beratap alang-alang berdiri sejajar, menghadap ke arah puncak yang dianggap sebagai arah sakral.

Penduduk setempat percaya bahwa Inerie adalah ibu dari kehidupan, sumber kekuatan yang memberi kesuburan bagi tanah dan perlindungan bagi manusia. Ketika hujan turun, mereka mengatakan, Ine Rie sedang menurunkan air susu bagi anak-anaknya di bumi.


Anak dari Api dan Waktu

Secara ilmiah, Gunung Inerie termasuk tipe stratovolcano, hasil tumpukan lapisan lava dan abu vulkanik selama ribuan tahun. Para ahli geologi memperkirakan bahwa gunung ini terbentuk akibat aktivitas lempeng Indo-Australia yang menujam ke bawah Eurasia, menciptakan deretan gunung api di Nusa Tenggara.

Namun Inerie kini tertidur tenang. Tak ada catatan letusan besar dalam sejarah modern. Kadang, dari kawah puncaknya yang kering dan berbatu, muncul hembusan gas panas samar seolah napas lembut sang ibu yang belum sepenuhnya mati. Batuannya keras dan berwarna abu kemerahan, menunjukkan jejak lava basaltik masa lalu.

Dari udara, tubuh Inerie tampak seperti piramida alami yang menjulang di tengah hutan dan ladang. Lereng bawahnya hijau, dipenuhi ladang jagung, kopi, dan ubi; semakin tinggi, warnanya berubah menjadi cokelat dan abu-abu, hingga akhirnya tandus di puncak, di mana hanya batu, pasir, dan angin yang hidup.


Perjalanan Menuju Punggung Ibu

Untuk menapaki Gunung Inerie, perjalanan biasanya dimulai dari Desa Watumeze, sekitar lima belas menit berkendara dari kota Bajawa. Dari sana, jalan setapak menanjak menembus semak belukar dan ladang penduduk. Pendakian ini bukan untuk mereka yang hanya mencari hiburan ringan; jalur curam dan rapuh membuat setiap langkah harus berpikir.

Pendaki biasanya memulai perjalanan sekitar pukul dua dini hari, agar tiba di puncak saat matahari terbit. Di bawah cahaya senter dan bintang, lereng Inerie tampak seperti dinding hitam yang menjulang. Hanya suara langkah, desah napas, dan derik batu kecil yang bergulir ke bawah menemani.

Perjalanan ke atas memakan waktu tiga hingga empat jam, namun setiap jam terasa seperti ujian ketekunan. Tidak ada pepohonan besar untuk berteduh; hanya ilalang kering dan batu tajam. Di beberapa titik, pendaki harus berpegangan pada batu agar tidak tergelincir. Namun rasa letih seolah hilang ketika garis merah pertama muncul di ufuk timur.

Begitu matahari naik, kabut di bawah lereng berputar seperti lautan putih, menelan lembah dan kampung di kaki gunung. Di puncak, dunia seolah terdiam. Angin dingin menusuk, namun hati hangat oleh keindahan yang sulit dijelaskan dengan kata. Dari sana, terlihat Gunung Ebulobo di kejauhan, perbukitan Ngada yang bergelombang, dan birunya Laut Sawu di barat daya.


Gunung yang Dihormati, Bukan Ditaklukkan

Puncak Gunung Inerie (Flores, Indonesia) - Review - Tripadvisor

Bagi masyarakat Ngada, pendakian bukan sekadar olahraga. Ia adalah perjalanan spiritual — bentuk penghormatan kepada alam dan leluhur. Di kaki gunung, sering dilakukan upacara kecil sebelum mendaki, dengan doa dan siraman arak lokal sebagai persembahan kepada IneRie agar perjalanan selamat.

Mereka percaya, tidak setiap orang bisa naik tanpa izin. Gunung ini punya “karakter”, dan mereka yang sombong atau berbicara tidak sopan di jalur pendakian bisa “tersesat” meski jalannya jelas. Itulah sebabnya, warga lokal sering mengingatkan pendaki asing untuk menjaga sikap, bicara dengan hati, dan membawa rasa hormat.

Di kampung adat Bena, rumah-rumah tradisional menghadap langsung ke arah Inerie. Di tengah kampung terdapat ngadhu dan bhaga tiang dan rumah kecil yang melambangkan leluhur laki-laki dan perempuan. Saat ritual besar seperti reba (pesta syukur tahunan), doa-doa selalu diarahkan ke gunung. Sebab bagi mereka, puncak Inerie adalah rumah para roh leluhur, tempat doa berangkat sebelum kembali sebagai berkah.


Kisah dan Mitos dari Lereng Inerie

Legenda tentang Gunung Inerie hidup dalam cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun. Salah satunya mengatakan bahwa dahulu kala, bumi Ngada dipenuhi air, dan Inerie adalah sosok ibu yang muncul untuk menahan air agar manusia bisa hidup di daratan.

Shot in the Dark - Travelogues from Remote Lands

Ada pula kisah tentang seorang gadis sakral yang hilang di puncak gunung, dipercaya berubah menjadi roh penjaga Inerie. Karena itu, masyarakat adat jarang sekali menginap di puncak; mereka hanya naik untuk menyapa dan turun kembali sebelum malam tiba.

Setiap desa di sekitar gunung memiliki versi kisahnya sendiri, tetapi semuanya bermuara pada satu makna: Gunung Inerie adalah lambang kesuburan, keseimbangan, dan kehidupan.


Pesona Alam dan Budaya di Sekitarnya

Perjalanan menuju Inerie bukan hanya tentang pendakian. Di sekelilingnya, ada kekayaan budaya dan panorama yang membuat kawasan ini seperti lukisan yang hidup.

  1. Kampung Adat Bena — terletak di kaki Inerie, Bena adalah salah satu kampung adat paling terkenal di Flores. Rumah-rumah beratap alang-alang berdiri berlapis mengikuti kontur bukit. Di tengahnya, batu-batu megalitik tersusun dalam pola sakral, tempat warga melakukan ritual persembahan. Dari sini, pemandangan Inerie tampak begitu dekat, seolah puncaknya hanya sejengkal di atas kepala.
  2. Gurusina dan Tololela — dua kampung adat lain yang masih menjaga tradisi megalitik dan rumah adat khas Ngada. Gurusina pernah terbakar hebat pada 2018, tetapi dibangun kembali dengan semangat gotong royong yang luar biasa.
  3. Pemandian Air Panas Soasumber air panas alami yang muncul dari celah batu vulkanik, dipercaya mengandung mineral penyembuh. Tempat ini sering menjadi persinggahan untuk merilekskan tubuh setelah mendaki.
  4. Kopi Bajawa — tanah vulkanik di lereng Inerie menghasilkan salah satu kopi terbaik di Indonesia. Aromanya lembut, asamnya ringan, dan rasanya meninggalkan kesan hangat di lidah.

Perubahan Waktu di Kaki Gunung

Meskipun Inerie tetap gagah, dunia di bawahnya perlahan berubah. Jalanan menuju Bena kini beraspal, sinyal telepon mulai menjangkau desa, dan anak-anak muda banyak yang merantau ke kota. Namun, setiap kali mereka kembali, mereka selalu menatap gunung itu dengan perasaan yang sama: rindu.

Inilah Fakta Gunung Inierie, Puncak Tertinggi Pulau Flores

Gunung ini telah menjadi kompas batin bagi banyak orang Flores. Dari mana pun mereka pergi, bayangan Inerie selalu muncul di benak tegak, sunyi, tapi penuh kasih. Ia mengajarkan keteguhan dan kesabaran: bahwa keindahan sejati lahir dari ketenangan, bukan dari hiruk-pikuk.


Simbol Ibu dan Keabadian

Ada filosofi mendalam di balik nama “Ine Rie”. Dalam budaya Ngada, ibu adalah sumber kehidupan, sosok yang melahirkan, memberi makan, dan menjaga. Gunung ini diperlakukan dengan rasa hormat yang sama bukan ditaklukkan, melainkan disapa dan dipelajari.

Setiap bentuk kehidupan di lerengnya rumput, batu, air, dan awan dianggap bagian dari tubuh sang ibu. Karena itu, masyarakat setempat sangat menjaga keseimbangan alam. Menebang pohon sembarangan, merusak batu sakral, atau membuang sampah di jalur pendakian dianggap pelanggaran spiritual, bukan hanya etika.

Inerie mengajarkan cara pandang yang sederhana namun dalam: bahwa manusia bukan penguasa alam, melainkan anak-anak kecil yang hidup di pangkuan bumi.


Sunrise di Puncak Dunia

Bagi banyak pendaki, matahari terbit di puncak Inerie adalah momen yang tak terlupakan. Saat langit mulai memerah, cahaya menembus kabut dan menyalakan lembah-lembah di bawah. Perlahan, dunia terungkap kampung adat kecil, ladang hijau, dan jalan berkelok yang mengarah ke Bajawa.

Di NTT Ada 5 Puncak Gunung Tertinggi, Satu Di Antaranya ada di Pulau Timor!  - Victory News

Angin berhembus kencang membawa aroma belerang samar. Di timur, Laut Flores memantulkan cahaya keemasan; di barat, Laut Sawu membentang bagai cermin biru. Di tengah keheningan itu, banyak pendaki terdiam lama bukan karena lelah, tapi karena terpana.

Gunung ini membuat manusia merasa kecil, namun bukan dengan cara yang menakutkan. Sebaliknya, ia memeluk dengan sunyi, seolah berkata: “Kembalilah ke bumi dengan hati yang ringan. Hidup adalah pendakian yang sama, hanya jalurnya berbeda.”
Ketika sore tiba, bayangan Gunung Inerie jatuh panjang ke arah utara, menutupi lembah Bajawa seperti pelukan seorang ibu kepada anak-anaknya yang lelah. Angin membawa aroma tanah basah dan asap kayu dari dapur-dapur rumah adat. Dari kejauhan, terdengar suara tawa, suara sapi, dan nyanyian kecil anak-anak yang berlarian di antara batu megalitik.

Gunung ini tidak hanya berdiri di atas tanah Flores ia hidup di dalam hati orang-orangnya. Dalam setiap cerita, setiap lagu rakyat, dan setiap doa yang naik dari kampung-kampung kecil, nama IneRie selalu disebut dengan kasih.
Ia adalah penjaga waktu, saksi abadi bagi manusia yang datang dan pergi. Dan bagi siapa pun yang pernah menatapnya entah dari puncak atau dari lembah Gunung Inerie akan selalu menjadi pelajaran tentang kerendahan hati, kesucian alam, dan kekuatan cinta yang tidak perlu suara untuk dimengerti